MASIGNCLEAN101

Konsekuensi Syariat: Menjual Barang Cacat

11/11/2012
Tulisan dalam nota: “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau ditukar” jika tidak diiringi tindakan nyata sekedar trik pedagang untuk menghalalkan segala macam cara guna mengeruk keuntungan. Dalam tinjauan hukum syariat, tulisan itu tidak ada artinya, karena syariat Islam sennatiasa mengedepankan keadilan. Pembeli tetap saja berhak mengembalikan, atau paling kurang menukar barang cacat itu dengan barang yang utuh.

Setiap orang yang membeli barang pastilah menginginkan barang yang utuh dan bebas cacat. Sewajarnya pula setiap orang beranggapan, idealnya setiap penjual hanya menjual barang yang utuh dan bebas cacat. Bahkan dalam banyak kasus, pedagang berusaha menguatkan pesan itu dengan menulis pengumuman “Barang yang sidah dibeli tidak dapat dikembalikan atau ditukar”.

Adanya baik sangka seperti itu, sejatinya cukup beralasan, mengingat dalam perdagangan seorang yang beriman sewajarnya bersikap jujur dan transparan. Karena  itu ketika Rasulullah SAW menjua suatu barang, beliau berkomitmen untuk memenuhi kriteria ini. Simaklah salah satu nota kesepakatan jual-beli antara Nabi SAW dan sahabat Al ‘Adda bin Khalid berikut ini: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Inilah akad pembelian Al ‘Adda’ bin Khalid bin Hauzah dari Muhammad SAW. Ia (Al ‘Adda’) membeli darinya (Nabi) seorang budak laki-laki atau budak perempuan yang tidak ada penyakitnya, juga tidak berperangai buruk, dan tidak juga ada pengelabuhan, sewajarnya penjualan seorang Muslim kepada orang Muslim lainnya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya)

Konsekuensi Hukum Bila Barang Cacat
Walau demikian, sering antara kondisi ideal dan fakta terdapat kesenjangan sangat jauh. Dalam banyak kasus, tulisan “Tidak dapat dikembalikan atau ditukar” hanyalah sebatas tulisan yang tidak diiringi tindakan nyata. Tulisan semacam itu telah menjadi salah satu trik menghalalkan segala macam cara untuk mengeruk keuntungan. Akibatnya, sebagian konsumen menjadi korban, karena ternyata menemukan cacat pada barang yanag dibelinya. Namun karena pedagang telah membuat tulisan seperti itu, akhirnya pembeli kesulitan menukar, apalagi, membatalkan pembeliannya.

Apa yang diinginkan sebagian pedagang nakal dari tulisan semacam itu dalam tinjauan hukum syariat tidaklah ada artinya. Yang demikian itu karena syariat Islam senatiasa mengedepankan keadilan. Pembeli tetap saja berhak mengembalikan, atau paling kurang menukar barang cacat itu dengan barang yang utuh.

“ ‘Aisyah r.a mengisahkan: Ada seorang lelaki yang membeli seorang budak, kemudian setelah usai pembelian, ia segera memperkerjakannya. Selang beberapa lama pembeli mendapatkan suatu cacat pada budak tersebut. Tidak ingin merugi, ia pun mengembalikannya (kepada penjual). Namun penjual malah mengadu (kepada Rasulullah SAW) dan berkata: Wahai, Rasulullah, sesungguhnya ia telah memperkerjakan budakku (sehingga hendaknya ia juga mengembalikan uang sewa selama budakku berada di tempatnya)? Menanggapi keinginan penjual ini, Rasulullah bersabda: “Keuntungan itu adalah imbalan atas tanggung jawab atas barang.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmizy, Ibnu Majah, dan lainnya)

Berdasarkan hadis ini dan juga dalil lainnya, para ulama menyepakati, pembeli berhak membatalkan pembeliannya bila menemukan cacat yang tidak ia ketahui ketika akad pembelian. (Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/225). Dalam kondisi semacam ini persyaratan yang telah diumumkan penjual untuk tidak mengembalikan atau membatalkan, tidak memiliki konsekuensi hukum apa-apa, alias sia-sia. Yang demikian itu karena persyaratan semacam itu menyelisihi ketentuan syariat Allah Azza wa Jalla. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap persyaratan yang menyelisihi Kitab Allah (syariat Allah) maka persyaratan itu bathil, walaupun jumlahnya seratus persyaratan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Membatalakan Pembelian Walau Tanpa Cacat
Apa yang telah diutarakan berlaku bila terdapat cacat pada barang. Namun bila barang yang dibeli benar-benar utuh dan bebas dari cacat, persyaratan tersebut mengikat dan penjual berhak menolak pengembalian atau penukaran. Rasulullah SAW bersabda: “Bila dua orang berjual-beli, maka masing-masing dari keduanya belum berpisah dari tempat mereka bertemu, atau salah satu darinya menawarkan pilihan kepada kawannya. Bila salah satu darinya menawarkan pilihan, kemudian mereka berjual-beli dengan asas pilihan yang ditawarkan tersebut maka akad jual beli tersebut telah selesai (mengikat). Bila kemudian mereka berpisah setelah mereka menjalakan akad jual-beli, dan tidak ada seorang pun dari keduanya yang membatalkan akad penjualan, maka akad penjualan tersebut telah selesailah (mengikat).” (Muttafaqun ‘alaih)

Pembatalan Tanpa Memotong Uang Pembayaran
Islam menganjurkan kepada penjual untuk berbesar jiwa, dengan mengabulkan keinginan pembeli untuk membatalkan pembeliannya dan mengembalikan uangnya secara utuh. Rasulullah SAW menjanjikan pahala yang besar kepada penjual yang menerima pembatalan semacam itu” “Barangsiapa menerima pembatalan orang yang menyesali pembeliannya/penjualannya niscaya Allah akan meghapuskan kesalahannya kelak pada Hari Kiamat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majjah, dan lainnya)

Syeikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin Rahimahullah berkata, “Fakta yang telah dibuktikan oleh banyak orang, biasanya orang dengan lapang dada menerima pembatalan dari saudaranya, Allah Ta’ala memberkahi barang dagangannya tersebut dan menambah harga jualnya. Betapa banyak orang yang menerima pembatalan penjualannya, kemudian harga barang tersebut bertambah mahal, sehingga mereka mejual kembali barang tersebut dengan harga yang lebih mahal dari penjualan pertama. Ini adalah balasan yang mereka dapatkan di dunia atas kedermawanannya ini.” (As-Syarhul Mumti’ 8/383)

Pembatalan Dengan Memotong Uang Pembayaran
Fakta membuktikan, jiwa besar hanyalah dimiki oleh segelintir orang. Karena itu untuk bisa memanfaatkan tanpa ada imbalan sedikit pun hanya bisa dilakukan pedagang pemberani dan beriman bahwa rezekinya tidak berkurang karena pembatalan. Kerana itu Islam juga memahami sepenuhnya kondisi di masyarakat. Sebagai buktinya Islam membenarkan Anda menerima pembatalan dengan memotong sebagian uang pembayaran yang diserahkan pembeli.

Pembatalan dengan metode ini, menurut kebanyakan ulama, terlarang karena dua alasan berikut:
1.   Dapat menjadi celah terjadinya praktik riba
2. Adanya pemotongan harga bertentangan dengan maksud disyariatkannya menerima pembatalan sebagaimana yang dijelaskan pada hadis di atas. (Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/200-201)

Namun kedua alasan tersebut, menurut sebagian ulama kurang kuat. Berangkat dari hal itu, mereka lebih memilih pendapat yang membolehkan pembatalan dengan imbalan, dengan memotong uang pembayaran atau meminta ganti rugi. Adanya kecurigaan pembatalan dapat menjadi celah praktik riba jauh dari kenyataan. Sebagaimana alasan ini bertentangan dengan prinsip suka sama suka yang lebih kuat dasar hukumnya dan lebih jelas aplikasinya. Terlebih lagi pembatalan akad bila dilakukan tanpa alasan yang dapat diterima, bisa saja menimbulkan kerugian kepada penjual.

Bila kasus pembatalan terulang berkali-kali dan dari pelaku berbeda sangat dimungkinkan menimbulkan kesan negatif pada toko atau produk pedagang. Dan bila itu telah terjadi, pedagang bakal menanggung risiko yang cukup berat bagi kelangsungan usahanya. Karena itu untuk menutup celah ini pedagang dibenarkan memungut imbalan atau memotong uang pembayaran agar pembeli tidak ceroboh dalam membatalkan pembeliannya. (As-Syarah Al Mumti’ oleh Ibnu Utsaimin 8/385)
Wallahu Ta’ala a’lam bisshawab.    


Sumber:
Pengusaha Muslim. 2012. “Konsekuensi Syariat Menjual Barang Cacat”, Edisi 33: 16-18.
FOSEI UNSOED

Akun Official KSEI FOSEI Universitas Jenderal Soedirman